Banda Aceh. VOA.net_Di tengah upaya komunitas jurnalis membenahi marwah profesi, tiba-tiba muncul satu sosok absurd yang secara terang-terangan menyebut dirinya “pengamat pers.” Lucunya, ia bukan berasal dari latar belakang akademik, bukan pula dari media yang terverifikasi Dewan Pers. Bahkan, rekam jejaknya lebih banyak dikenal sebagai wartawan "bodrek"—istilah yang merujuk pada mereka yang menulis sekadar demi amplop, bukan demi kebenaran. Lebih ironis lagi, kini dia justru sibuk menyerang rekan-rekan seprofesi yang pernah satu barisan dengannya.
Pengamat pers seharusnya hadir dengan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka mesti memahami ekosistem media secara objektif, memiliki pengalaman jurnalistik yang mumpuni, serta—yang tak kalah penting—bernaung di bawah lembaga atau institusi yang kredibel. Tapi si tolol ini malah menjadikan ego dan dendam pribadi sebagai "bahan bakar" analisisnya.
Serangannya bukan berdasarkan kajian, melainkan karena tak kebagian kue Pokir Dewan. Ini bukan kritik, tapi jeritan iri hati.
Media tempatnya pernah bernaung bahkan tidak pernah terverifikasi oleh Dewan Pers, suatu indikator bahwa kualitas dan integritas medianya layak dipertanyakan. Dalam dunia pers profesional, status verifikasi bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab etik dan hukum. Bagaimana mungkin seseorang dari media tak terverifikasi tiba-tiba menjelma jadi komentator ulung atas dinamika pers nasional?
Lebih memprihatinkan lagi, dia kerap melabeli wartawan lain dengan istilah “tidak profesional,” padahal dirinya sendiri tenggelam dalam praktik-praktik usang dan tidak etis. Sifat piciknya makin kentara saat dia mulai menyudutkan wartawan yang aktif di lapangan hanya karena mereka dianggap dekat dengan kekuasaan. Padahal, kedekatan itu bukanlah aib jika dijaga dengan etika. Berbeda dengan dia, yang justru memelintir relasi jadi bahan serangan tak berdasar.
Publik layak tahu bahwa pengamat palsu seperti ini adalah racun bagi dunia pers. Ia bukan sedang menyuarakan kebenaran, tapi sedang melampiaskan kekesalan akibat ketertinggalannya sendiri. Ia gagal bersaing secara sehat, lalu memilih menghancurkan kredibilitas orang lain dengan tudingan murahan yang dibungkus seolah-olah sebagai analisa.
Jurnalisme butuh orang-orang waras yang menjunjung etika dan kompetensi, bukan orang yang merasa bisa berbicara banyak hanya karena bisa menulis status di media sosial. Jika si tolol ini tetap dibiarkan bersuara seakan-akan mewakili dunia pers, maka kita sedang membiarkan kebodohan dan kepalsuan mengambil alih ruang diskusi yang seharusnya bermutu. Dunia pers bukan panggung dagelan, dan pengamat bukanlah panggilan bagi mereka yang hanya bisa nyinyir tanpa dasar.
Ketua Akpersi (Asosiasi Keluarga Pers Indonesia) Melalui Ketua Divisi Advokasi Dan Hukum Wartawan, Teuku Khairol Alhaytami ST.MT.C.Ed menangapi polemik Saudara Eri Iskandar Dibawah Media Pelita Aceh ( Media Yang Belum Terverifikasi Dewan Pers) ini Seperi Buzzer Peliharaan Orang-Orang Suruhan yang sengaja untuk mengkotori Dunia Pers di Diaceh- Karena Dia Berangkat Dari luar aceh dan Menuju Aceh Memang, Saya Lihat Seperti Anjing peliharaan Yang setiap Saat akan menjadi pencundang dan menerkam wartawan aceh yang dia Inginkan.
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar